20081226

Kontemplasi Empat Tahun Tsunami - 2

Karena Kita Hipokrit dan Hedonistis

Kita telah mencapai titik nadir pada kekebalan hati, rasa, pikiran bahkan spiritualitas. Korupsi, kolusi, eksploitasi alam, pendewaan terhadap materi dan kehidupan yang hedonistis, dan sejenisnya adalah keseharian kita. Agama (Islam) bagi kita hanyalah identitas normative pelengkap persyaratan administrasi bernegara. Penegakan ritual ibadah tidak lebih dari sekedar “carmuk” (cari muka) atau “caper” (cari perhatian) karena yang menonjol dari kegiatan ibadah kita adalah symbol fisik daripada hakikat. Pamer selalu menjadi tujuan dominan dari rutinitas ibadah kita.

Bagaimana sebuah negeri yang mayoritas penghuninya adalah muslim dan menjadi negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia selalu menduduki ranking teratas dalam hal berbuat kerusakan di lingkungan alam dan masyarakatnya. Bagaimana negeri yang salah satu ujungnya berprediket “Serambi Mekkah” tetapi menjadikan Islam terkapar karena keluruhan dan keagungan ajarannya disalahgunakan sehingga hakikat Islam yang “Rahmatan lil alamin” teronggok di antara selilit gusi bangsa ini.

Islam hampir sama sekali tak terpancarkan dalam aktifitas kegiatan kita sehari-hari, tak terrefleksikan dalam perilaku para pemimpin kita dan apalagi menyatu dalam setiap tarikan nafas kita. Selalu yang kita tonjolkan saat melakukan rutinitas kita adalah untung rugi.

Kehidupan yang kita adopsi serba normative, artificial dan hipokritif. Kita berjubah dan menenteng pedang serta mengibarkan panji-panji Allahu Akbar, merangsek merazia tempat-tempat yang berbau maksiat. Padahal ujung-ujungnya kita hanya ingin menaikkan bargaining kita dalam memeras. Kita bersorban dan selalu bertasbih melafazkan asma Allah, padahal kita ternyata mengahasut umat yang satu tentang umat yang lain. Kita berjilbab rapih menutup aurat sesuai anjuran-Nya, ternyata tingkah laku kita, perkataan kita, perbuataan kita, hobi kita tak ada bedanya dengan mereka yang suka berbikini.

Kitab suci yang kita miliki sekedar menjadi pajangan lemari dan ayat-ayatnya hanya sebatas menjadi penghias dinding. Membacanya pun hanya sekedar basa-basi karena kita tak pernah bisa mengahayati apa sebenarnya maknanya, kecuali agar anak istri atau orang-orang di sekitar kita mengagumi suara kita. Bahkan mempelajari bahasa kitab suci (bahasa Arab) pun terasa kampungan. Padahal saat yang sama kita sibuk mengorbankan waktu, tenaga dan biaya untuk mempelajari bahasa asing lainnya. Sungguh ironis!

Sungguh telah Allah takdirkan bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya raya. Telah Allah pilih Indonesia menjadi negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, Allah ingin Islam yang makmur, yang berkeadilan dan rahmatan lil alamin memancar dari bumi Indonesia. Keaneka ragaman etnis, budaya dan tradisi adalah modal bagi negeri ini untuk menjadi negeri suri teladan bagi pembangunan peradaban dunia yang agamis, bersolidaritas tinggi, penuh toleransi dan berakhlak karimah.
Click here to continue to part 3

No comments: