20081226

Kontemplasi Empat Tahun Tsunami - 3

Kita lah Biang Keladi Segala Bencana

Telah Allah kehendaki bahwa negeri ini telah lebih setengah abad menjalani kebebasannya dari belenggu penjajah, merdeka dari kolonialisme, berdaulat dan leluasa mengatur rumah tangga dan kekayaannya sendiri. Dan telah Allah kehendaki pula bahwa pemimpin negeri ini silih berganti dengan segala kebaikan dan keburukannya agar kita menjadi dewasa dan matang dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi lagi-lagi, yang selalu kita hasilkan adalah penyimpangan-penyimpangan dan kerusakan.

Dan keadaan yang bersifat merusak tersebut senantiasa kita pertahankan, bahkan kita wariskan dari generasi ke generasi. Karena semakin hari kondisi negeri ini tidak lebih baik, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kehidupan keber-agama-an maupun kehidupan kemasyarakatan. Di bidang ekonomi, harga kebutuhan hidup semakin menjulang tinggi, secara sosial masyarakat tak pernah merasakan kesejahteraan, berpolitik hanya dijadikan sarana memperkaya diri, pendidikan tak lagi menjadi sarana untuk membangun sumber daya manusia tetapi menjadi lading bisnis, agama dijadikan tameng untuk saling membunuh, mengusir dan menganggap orang lain tidak berhak menghuni negeri ini, serta masyarakat pun tak punya lagi empati bahwa di sekelilignya banyak orang yang mati karena kelaparan dan kedinginan.

Nampaknya, bagi sebagian penduduk negeri ini, akal yang Allah anugerahkan sebagai pembeda manusia dari mahluk lainnya, sebagai radar pendeteksi keagungan Allah yang terhampar di jagat raya, hanya menjadi sekedar gumpalan lemak dan saraf yang selalu sibuk dan pusing mencari dalih untuk menisbikan ke-Maha-anNya. Hati yang Allah tanamkan dalama raga kita sebagai navigator agar kita mampu mengendalikan diri, berjalan lurus di jalan-Nya, mengambil yang hak dan meninggalkan yang bathil, hanya berfungsi sebagai gumpalan darah yang berselimut hawa nafsu yang menjerumuskan kita ke kepongahan jiwa yang meng-eliminasi kehambaan kita kepada Allah.

Kita menjadi manusia durhaka terhadap diri kita sendiri. Kita menjadi manusia durhaka pada orang lain, terhadap alam dan terlebih lagi terhadap Allah SWT.

Maka menjadi sangat wajar bila Allah menimpakan bencana tsunami dan bencana-bencana lainnya yang silih berganti kepada negeri ini.

“Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannyasebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lawh Mahfudz)” (Bani Israel,58)


Sesungguhnya apabila kita merenung, bencana tsunami dan bencana-bencana lainnya yang menimpa negeri ini bukanlah hukuman Allah terhadap kita, bangsa Indonesia. Tetapi adalah ekspresi betapa Allah sangat mencintai dan tidak menghendaki jika "zamrud katulistiwa" ini semakin terperosok ke jurang kehancuran yang lebih dalam, ke kebinasaan. Bencana tersebut sejatinya adalah bentuk tamparan keras agar kita tersadar dari kelengahan kita, dari kemasa bodoan kita.

Dalam rangka memperingati empat tahun tsunami ini, sudah selayaknya bila kita tetap bersyukur karena kita bangsa ini masih diberi kesempatan untuk tetap ada. Maka sehingganyalah kita menjadikannya momentum untuk bertaubat, mengembalikan kesadaran kita bahwa KITA lah biang keladi penyebab terjadinya segala bencana itu. Semoga Allah senantiasa meberi hidayah kepada kita.

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah meraka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga)”. (An-Najm 31)

No comments: